Detotabuan,TONDANO – Dua pendeta perempuan senior GMIM yakni, Pendeta Dr. Lientje Kaunang, Th. M., dan Pendeta Dr. Agustien Kaunang, M. Th, resmi menggugat Pimpinan Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GMIM ke Pengadilan Negeri Tondano, Kabupaten Minahasa.
Keduanya merasa dirugikan akibat tidak menerima hak gaji dan pensiun selama belasan tahun.
Gugatan perdata dengan nomor perkara 192/Pdt.G/2025/PN Tnn ini didaftarkan dan mulai disidangkan pada Selasa, 27 Mei 2025, di ruang sidang Prof. Dr. H. Muhammad Hatta Ali, SH., MH. Kedua pendeta hadir bersama kuasa hukum mereka, Advokat Sofyan Jimmy Yosadi, SH., sedangkan pihak tergugat, yakni Ketua dan Pengurus BPMS GMIM maupun kuasa hukumnya, tidak hadir dalam sidang perdana tersebut.
Gugatan ini merupakan langkah terakhir dari perjalanan panjang dua pendeta senior GMIM dalam memperjuangkan hak-haknya. Mereka mengklaim tidak menerima gaji sejak tahun 2008, meski telah mengabdi sebagai pendeta dan dosen tetap di Fakultas Teologi UKIT selama puluhan tahun. Tak hanya gaji, hak pensiun yang seharusnya menjadi bentuk penghargaan atas pengabdian mereka pun tidak diberikan.
Keduanya pertama kali diangkat secara resmi sebagai Pendeta GMIM melalui Surat Keputusan BPMS GMIM masing-masing pada tahun 1982 dan 1983. Sejak saat itu, selain mengabdi sebagai pendeta, mereka juga menerima penugasan mengajar calon pendeta dan teolog di UKIT berdasarkan SK resmi Sinode pada tahun 1988 dan 1989. Sejak masa pengabdian, gaji mereka rutin dipotong sebagai kontribusi untuk dana pensiun.
Namun sejak 2008, dengan alasan kisruh kelembagaan di UKIT, BPMS GMIM menghentikan pembayaran gaji tanpa keputusan tertulis atau skema penyelesaian yang jelas. Pada tahun 2017, setelah menempuh berbagai upaya non-litigasi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Utara sempat mengeluarkan anjuran tertulis agar pihak Sinode membayar hak-hak kedua pendeta tersebut. Namun, surat anjuran tersebut diabaikan oleh pihak BPMS GMIM.
Pendekatan personal pun telah dilakukan berulang kali sejak tahun 2021 oleh kedua pendeta kepada Ketua Sinode GMIM Pdt. Hein Arina, bahkan saat pandemi Covid-19 masih berlangsung. Namun, harapan itu hanya dijawab dengan janji-janji yang tak kunjung terealisasi hingga akhirnya mereka memasuki masa pensiun pada tahun 2022 dan 2023 dalam keadaan tanpa hak.
Lebih ironis, upaya damai pun kembali dilakukan oleh kuasa hukum mereka hingga tahun 2024. Bahkan proses hukum ditunda demi menjaga etika, mengingat saat itu GMIM tengah berada di bawah sorotan akibat kasus dugaan korupsi dana hibah Pemprov Sulut yang menyeret Ketua Sinode sebagai tersangka. Meski begitu, itikad baik kembali dikhianati karena tidak ada realisasi pembayaran hak gaji maupun pensiun.
Dalam dokumen gugatan, kerugian materiil yang dialami oleh kedua pendeta ini ditaksir mencapai Rp1,2 miliar. Jumlah ini terdiri dari akumulasi gaji yang tidak dibayarkan, hak pensiun yang seharusnya diterima, serta kompensasi moril atas pelanggaran hak-hak dasar pekerja sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan tata gereja GMIM.
“Gugatan ini bukan semata-mata soal uang, tapi soal keadilan dan penghargaan atas pengabdian. Mereka mencintai GMIM, tapi dipaksa mengambil langkah hukum karena tidak ada jalan lain, “ujar Advokat Sofyan Jimmy Yosadi, SH.
Gugatan ini sekaligus membuka tabir praktik pengabaian hak-hak pekerja gereja yang mungkin juga dialami oleh banyak pendeta GMIM lainnya. Kuasa hukum menyebut bahwa informasi yang diperoleh dari para pendeta lain menunjukkan masih banyak kasus serupa yang belum tersentuh proses hukum karena alasan loyalitas atau rasa sungkan terhadap institusi gereja.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tondano memutuskan menunda sidang dan akan menjadwalkan ulang sidang berikutnya sambil menunggu kehadiran pihak tergugat. Perkara ini berpotensi menjadi yurisprudensi penting dalam ranah relasi antara lembaga keagamaan dan hak-hak pekerjanya.
Pimpinan Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) GMIM Tondano Kabupaten Minahasa akan diupayakan dikonfirmasi sampai berita ini naik tayang.
(Hengky Kaunang)