Optimisme Politik Kaum Muda

0
549

Oleh : Cherish Hariatte Mokoagow, BA, MBA. (Calon Anggota DPD RI Dapil Sulut)

KENAPA mesti anak muda? Pertanyaan ini kerap muncul ketika diperhadapkan pada pilihan antara memilih yang tua atau anak muda. Ada semacam pesimisme atau kesangsian yang bersembunyi di balik pertanyaan itu, yang diam-diam melembaga menjadi mentalitas dan paradigma publik.

Situasi demikian selalu menempatkan anak muda ke dalam posisi yang subordinat. Hal ini tergambarkan dengan sederhana tapi gamblang lewat pandangan bahwa “jika masih ada yang tua, maka anak muda bersabarlah dahulu”. Tanpa sadar, pandangan semacam itu justru sedang melanggengkan warisan paradigma politik feodal, hal yang hingga kini masih sering kita temui di masyarakat.

Hal yang sama juga sering saya jumpai ketika berinteraksi dengan masyarakat di sela-sela kegiatan peliputan, saat masih aktif sebagai reporter lapangan. Persepsi publik masih memandang anak muda sebagai kalangan yang minim pengalaman sehingga patut diragukan kemampuannya. Dari sekian banyak tolok ukur yang bisa dijadikan penilaian, pengalaman masih menjadi indikator pokok untuk menilai kapasitas personal, pun juga kualitas kepemimpinan seseorang.

Sayangnya lagi, pengalaman seseorang di mata publik sering dilihat berdasarkan kematangan usianya. Semakin tua usia, semakin berlimpah pengalaman. Argumentasi ini kerap dimanfaatkan kelompok tua untuk membenarkan upaya mereka dalam melanggengkan kekuasaan. Tapi benarkah hal ini? Jelas keliru. Bagaimana jika seseorang yang tua secara usia ternyata memiliki pengalaman melakukan tindak pidana yang merugikan masyarakat dan negara? Apakah dia tetap dianggap layak dan berkompeten?

Sampai di situ, jelaslah bahwa persepsi publik perihal pengalaman sebagai indikator pokok untuk menilai kemampuan seseorang, menjadi lemah dan tak cukup berdasar. Pengalaman memang penting, tapi yang sering diabaikan publik adalah kenyataan bahwa di abad ini, ketakcukupan pengalaman secara usia dapat disubstitusi oleh anak muda dengan beragam akselerasi kognitif dan mobilitas intensif. Dua hal yang menjadi penanda zaman now.

Narasi zaman ini adalah narasi kaum muda. Kita sedang menyaksikan transformasi kepemimpinan global sedang mengarah kepada partisipasi politik kaum muda yang seluas-luasnya. Ada semacam fenomena kejenuhan publik terhadap praktek dan perilaku politik gaya lama yang cenderung korup dan konservatif, dan kerap dipertontonkan politisi tua.

Menariknya, di sisi lain muncul fenomena yang menggembirakan yakni bergesernya paradigma politik anak muda menjadi lebih progresif dan aktif. Hal tersebut ditandai oleh kesadaran dan perhatian mereka yang makin tinggi terhadap isu-isu publik. Anak muda hari ini mulai aktif tergerak untuk turun tangan dan secara kritis menyikapi setiap persoalan-persoalan politik kebangsaan. Pergeseran paradigma politik anak muda ini membawa implikasi positif terhadap relasi politik dan iklim demokrasi.

Karakter dan warna politik mereka yang berbeda dibanding karakter politik generasi tua, serta kemampuan dan daya aksesnya yang baik terhadap teknologi, membuat kehadiran dan partisipasi politik anak muda hari ini mewakili secara utuh aspirasi semangat zaman yang menghendaki perubahan.

Justin Trudeau, Emmanuele Marcon, Obama, adalah sedikit contoh pemimpin yang merepresentasikan semangat itu. Ada juga Nathan Law, aktivis pro-demokrasi Hongkong yang pada pemilu 2016 terpilih menjadi anggota parlemen di usia 23 tahun. Di Malaysia ada Syed Saddiq, pemuda 25 tahun yang baru saja ditunjuk sebagai Menteri urusan Pemuda dan Olahraga di kabinet Mahathir Mohamad.

Ketika negara-negara lain di dunia mulai merespon semangat zaman ini, bagaimana dengan Indonesia?

Jika memperhatikan postur demografi Indonesia saat ini, dimana proporsi penduduk dengan rentang usia kategori muda yang berjumlah besar, maka tidak berlebihan bila kita meyakini bahwa fenomena perubahan itu akan terjadi pula di negara kita. Selain itu, partisipasi politik kaum muda Indonesia juga mulai mengalami peningkatan belakangan ini. Anak-anak muda mulai tak canggung untuk mengekspresikan aspirasi politik secara terbuka dengan cara-cara yang lebih kreatif dan variatif. Gerakan politik moral kaum muda makin banyak bermunculan lewat komunitas-komunitas dan relawan-relawan yang terkonsolidasi berdasarkan isu-isu aktual kebangsaan.

Demikian halnya juga dalam ruang politik praktis, sejumlah partai mulai memberikan kesempatan yang besar bagi munculnya tokoh-tokoh muda potensial untuk memegang peran politik yang strategis. Tak sampai di situ, partai-partai politik itu juga mulai memberikan porsi yang cukup besar bagi keterlibatan anak-anak muda dalam kontestasi elektoral. Meskipun upaya tersebut masih terkesan hanya sebatas strategi untuk memenangkan pasar pemilih muda, tapi kesemuanya itu cukup menumbuhkan optimisme dan harapan dalam mendorong perbaikan politik serta pengawalan terhadap berbagai agenda demokrasi yang mandeg.

Optimisme ini juga menjadi stimulan untuk meneguhkan kembali keyakinan kita bahwa kepemudaan sejatinya adalah komponen krusial dan tulang punggung masa depan bangsa. Lebih jauh lagi, dalam konteks kekinian, gagasan kepemudaan adalah ekstraksi penting dalam menyongsong limpahan bonus demografi generasi muda kita di masa yang mendatang.

Penting untuk diingat bahwa tahun 2020-2035 mendatang akan menjadi tahun puncak bonus demografi di Indonesia. Di rentang waktu itu, postur penduduk Indonesia akan didominasi oleh kelompok penduduk usia produktif. Tetapi limpahan bonus demografi ini hanya akan mendatangkan kemanfataan serta berkontribusi besar terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa jika dikelola secara benar dan serius.

Artinya, kelompok usia produktif Indonesia di masa yang mendatang wajib mendapatkan ruang yang terbuka dan terberdayakan dengan baik. Jika tidak demikian, maka bonus demografi yang kita harapkan hanya akan menjadi beban dan bencana demografi bagi negara. Oleh karena itu, perubahan struktur penduduk ini mengharuskan disusunnya rumusan agenda serta kebijakan kepemudaan yang komprehensif dan berlanjutan.

Dalam frame itulah, narasi politik kaum muda menemukan urgensi kontekstualnya. Partisipasi politik kaum muda diharapkan bukan hanya sebatas penggembira dalam setiap momentum politik elektoral, tapi lebih jauh lagi yakni memperjuangkan agenda kepemudaan lewat keterlibatan aktif dalam politik kebijakan. Keterlibatan pemuda dalam politik kebijakan ini menjadi ikhtiar strategis untuk memastikan terakomodirnya setiap agenda kepemudaan secara berkelanjutan. Sebaliknya, absennya kaum muda justru hanya akan menjadi kelemahan utama pembangunan Indonesia di masa depan.

Jika optimisme ini menjadi keyakinan kita bersama, maka saya percaya, tak perlu menunggu waktu yang lama untuk mempraksiskan semangat zaman ini ke dalam lapangan politik kita. Tentu saja, memperjuangkan agenda kepemudaan melalui kerja-kerja politik bukanlah perkara yang mudah, terlebih jika direspon sebagai ancaman oleh elit politik tua. Yang perlu kita lakukan segera adalah mengonsolidasi kekuatan anak muda yang terserak menjadi kekuatan kolektif yang utuh, agar iman politik kita menjadi tebal dalam meyakini apa yang dikatakan Pablo Neruda;

You can cut all the flowers, but you can’t keep spring from coming[***]

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.