BOLMONG, DETOTABUAN.COM – PT Advance Agri Indonesia Bolaang Mongondow atau AAI Bolmong tidak hanya menerapkan sistem kerja yang bertentangan dengan Undang Undang Cipta Kerja.
Namun PT Advance Agri Indonesia Bolmong yang bergerak di sektor industri pengeringan jagung kuat dugaan melakukan eksploitasi tenaga kerja atau buruh kerja.
Dugaan adanya eksploitasi tenaga kerja yang dilakukan PT AAI Bolmong terungkap dari pengakuan sejumlah orang yang berani mengungkap sistem kerja dan pengupahan yang tidak manusiawi.
Bahkan dari pengakuan Syarif Rimba salah satu pekerja mengatakan dirinya bersama rekan rekan yang lain setelah bekerja pagi hingga tengah malam, masih memiliki hutang di PT AAI Bolmong.
“Torang kerja sekitar 12 hari ada juga 11 hari. Selama kerja torang berhasil melakukan packing jagung 160 Ton tapi setelah penerimaan upah Rp 4 juta untuk 10 orang ternyata torang masih ada hutang sekitar Rp 700 ribu,” tutur Rimba.
Adapun upah yang berhasil didapatkan Rimba selama bekerja di pabrik pengeringan Jagung milik PT AAI sekitar Rp 600 ribu.
“Upah yang saya dapat dari pabrik Rp 600 ribu. Ada juga lain hanya menerima Rp 500 ribu dan Rp 200 ribu selama kurang lebih 2 minggu bekerja.”terang Rimba.
Selain itu Rimba juga mengungkapkan, setelah adanya protes dan mogok kerja beberapa hari 10 orang pekerja didatangi pihak perusahaan dan menawarkan sistem upah yang baru.
“Kami 10 ini sempat mogok, karena jujur baru kali ini kerja kasar yang dibayar tidak manusiawi. Mogok beberapa hari, orang perusahaan datang dan menawarkan sistem upah yang baru. Dalam pertemuan itu kami ditawarkan gaji perbulan Rp 2 juta.” tambah Rimba.
Menarik dalam pertemuan itu Rimba menceritakan sempat terjadi saling tawar menawar upah.
“Waktu itu saya mengusulkan upah Rp 2.250.000 dan disetujui oleh yang katanya boss perusahaan. Tapi saya dan dua rekan saya tidak lagi diizinkan bekerja di pabrik.” ungkap Rimba.
Tanggapan PT AAI Bolmong
Sementara itu, Pengawas Tenaga Kerja PT AAI Bolmong Darmawansah Kolopita, saat dikonfirmasi mengaku memang awal kerja kesepakatan itu borongan, dimana perkilogram Rp25 rupiah, selama 12 hari kerja, tapi hari Minggu tidak terhitung kerja. Jadi yang dihitung total 10 hari kerja.
Sementara yang kerja, kata dia, ada 10 orang tenaga kerja. Dan item pekerjaan diantaranya Packing, Muat ke oven, Bongkar dari mobil dan terakhir muat ke mobil.
“Nah yang mereka kerjakan hanya dua item pekerjaan yakni muat ke oven dan packing. Sementara selama jangka waktu sepuluh hari tersebut mereka sudah hutang atau kas bon ke perusahaan. Ada yang utang Rp500, 650, 200 dan bahkan Rp900 ribu,” ungkapnya.
Sehingga kata Darmawansah, jumlah hutang mereka ke perusahaan menumpuk menjadi Rp4.750.000. kemudian hasil packing dan oven sebanyak 160 ton hasilnya Rp4.150.000, ketika selesai pekerjaan mereka masih ada kas bon ke perusahaan Rp600 ribu.
Selanjutnya, masih ada sisa yang belum dihitung sekitar 25 ton jagung. Tapi mereka tidak lagi menunggu hitungan sisa itu, langsung pulang.
Walau begitu, para pekerja tersebut mengeluh datang kerumah dan bersepakat formula kesepakatan dirubah, dimana untuk upah harian Rp2 juta, apabila mencapai target maka akan diusulkan kenaikan upahnya. Namun lainnya meminta Rp2,5 juta.
“Ketika kami konfirmasi ke perusahaan jakarta dipusat, pihak perusahaan menyetujui turun Rp2.250.000 tapi karyawannya dikurangi tiga orang karena alasan perusahaan jumlah kuota di gudang sudah melebihi. Berakhir kesepakatan menjadi Rp2.250.000,” terang Darmawansah. (Yono).