MUNGKIN benar ungkapan dari beberapa orang tua terdahulu, jika ‘kesenangan (senyum) yang berlebihan bisa membawa duka’. Fenomena ini terpampang jelas dalam hajatan lima tahunan di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Betapa tidak, pesta demokrasi kerakyatan untuk memilih pemimpin baru di ujung timur wilayah Bolaang Mongondow Raya itu, seolah membetot perhatian dari sebagian besar masyarakat Sulawesi Utara.
Bukan hanya sekedar pesta rakyat biasa. Itu mungkin yang bisa terlihat dari fenomena demokrasi lima tahunan di wilayah tersebut. Yach, gesekan yang mengarah ke konflik horizontal antar warga, kerap terjadi di wilayah itu. Persoalannya pun hanya sepele, yakni dukung mendukung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati idola mereka. Mirisnya, di tengah-tengah gesekan tersebut, ‘senyum’ sumringah dari salah satu pasangan calon pemimpin di daerah itu terlihat jelas.
Bak, sudah memenangkan kompetisi, pasangan yang diusung oleh kelompok penguasa dengan berbagai ‘backing’ elite politik yang katanya, memiliki kekuatan secara kapitalistik yang cukup kuat terkesan ikut ‘memanaskan’ gesekan antar pendukung itu. Peta konflik antar pendukung berhasil dilakukan, dan senyum dari pasangan calon yang merekayasa hal itu pun kian mengembang. Secara kalkulasi matematika politik, peta konflik itu bisa saja dilakukan, dengan tujuan mengestimasi jumlah dukungan yang berpeluang diraup, guna memenangkan perebutan kursi kekuasaan.
Tidak berhenti sampai disitu, ‘senyum’ itu pun kian mengembang setelah lontaran fitnah keji mulai digulir. Dari rekayasa insiden penganiayaan bocah, hingga tudingan pasangan calon ‘kom kom ci’ ke salah satu kandidat kepala daerah. Hasilnya, cukup memuaskan. Fitnah tersebut lantas berjalan bagai air bah, yang siap menerjang siapa saja yang berusaha membendung isu tersebut. Kemenangan kedua bagi pasangan dengan ‘senyum’ kemunafikan kian menjadi. Sayangnya, pada etape ketiga dalam rekayasa politik pasangan penuh ‘senyum’ itu berubah drastis. Senjata pamungkas, dengan bermodalkan kunci brankas yang cukup banyak untuk memenangkan akhir kompetisi tersebut meleset.
Yach, ‘mandi uang’ yang awalnya akan dilakukan, guna membeli ‘moral’ masyarakat dalak Pilkada di Boltim, mencapai titik balik. Peta konflik yang awalnya dilakukan untuk memetakan pendukung, berhasil penuh. Terciptanya militansi yang kuat di tengah-tengah masyarakat untuk terus menjaga dukungan mereka membuat kunci brankas yang terbuka begitu banyak tidak mampu tersalur maksimal.
Fitnah yang awalnya digelondongkan guna membunuh karakter salah satu pasangan calon, akhirnya berbuah simpati yang luar biasa. Modal berupa kapital murni yang disediakan untuk memenangkan kompetisi di titik akhir perebutan kekuasaan, terbendung oleh kekuatan rakyat. Dan akhirnya Senyum yang mengembang dari awal pertandingan mulai meredup, seiring waktu yang kian dekat dengan penghujung tahun. Kekelahan telak, dengan selisih suara yang cukup besar menyisakan duka yang mendalam.
Namun, lepas dari hal diatas, fenomena politik di ujung timur wilayah Bolaang Mongondow Raya itu, tentu merupakan dinamika yang luar biasa dan dapat diambil pelajaran. Dimana, daerah yang awalnya dipandang ‘sebelah mata’ dari sisi kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM) itu mampu menunjukkan, betapa ‘mimpi’ untuk memiliki pemimpin yang merakyat, tak harus terbeli dengan uang dan tekanan kekuasaan. Pilkada telah berakhir, senyum duka di penghujung tahun tentu masih terasa. Pesta kemenangan pun masih menggema, namun kepastian akan masa depan Boltim tentu masih menyisakan tanda tanya, bagi mereka yang saat ini tersenyum maupun merasakan luka. Meski demikian, Harapan akan pemimpin pemegang amanat rakyat untuk bisa membawa perubahan di wilayah perbatasan itu, tentu tak bisa pupus begitu saja.
Penulis : Koni Balamba