SEPI sekali disini, didalam hatiku juga dalam fikiran, itu yang terus saja terasa meski dari kejauhan beberapa lelaki coba menarik perhatian tapi tetap saja hambar, sesekali teman-teman perempuan juga coba masuk dalam ruang sunyiku, tapi tetap saja terkunci rapat hingga susah untuk ditembusi oleh ribut suara kerumunan orang bercampur musik yang tak bisa aku nikmati, kadang pandangan orang-orang memaksa aku memekarkan senyuman, walau ruang itu lagi-lagi kosong.
Dipesta semewah dan semeriah inipun aku masih merasa sepi, sendiri, dan entah. Ternyata aku memang harus berdamai dengan hatiku, membiarkan tubuhku menjauh dari riak pesta dan memilih menyendiri, memandangi bulan dan tentunya penghuni langit yang lainnya, disana ada yang bernama bintang iya bintang, menikmati kesunyian yang mungkin akan padan dengan ruang kosong ini.
Aku terhentak rekam jejak beberapa waktu kemarin mengantar aku lagi-lagi bernostalgia denganmu sayang, lewat kenangan yang membiusku. Bukankah dulu kita juga pernah menikmati malam hingga pagi menjemput, sama ketika kita lebih memilih berpesta dengan kesunyian, rebah ditanah basah yang merah, katamu biar terbiasa jika mati nanti, beratap langit bersama sejuta penghuninya, katamu diamlah sayang, aku tak ingin suara kita mengusik penghuni langit malam ini, hingga sinar matahari mulai menciumi wajah kita dengan nakal, masih ingatkah kau??? , saat kita bersapa ria dengan burung-burung diketinggian, dilembah kedamaian tempat kita menyembunyikan hati. Saat dimana kau lama berdiam diri, bungkam lalu kemudian bertanya mesra (….. Maukah Kau bersembunyi dibalik hatiku?).
Aku merinduimu, benih-benih rindu yang kita tanam setelah berbulan-bulan bahkan nyaris bertahun-tahun kini tumbuh subur dalam hati dan ingatan, mengalir tanpa muara. Buahnya kadang lara kadang juga bahagia. Tak peduli hari berganti nama, musim mulai beralih, sibuk atau luang, siang maupun malam, sumpah bahkan tak bisa jadi jaminan jika rasa yang kau sembunyikan dihatiku kini terjaga dengan teramat sangat. Meski ombak dengan gigih tersenyum melewati pulau-pulau yang menjadi dinding pemisah namun harapan terus saja menjulang terbang, kuat dan berkata aku disini sayang, Ditepi laut menunggu perjamuan senja, berharap malam atau mungkin besok pagi ketika waktu bertengger dipundakmu dan ketika aku membuka mata, kita telah bersama.
Suara adzan subuh menyadarkanku jika sejak tadi aku menikmati pesta sunyiku, pesta yang sering aku buat dipertengahan malam atau pada saat senja katika aku mulai merinduimu, Dari dalam juga tidak nampak lagi riak pesta, entahlah sejak kapan teman-teman juga sudah berada pada mati, Dan mengakhiri pesta, Aku tak terlalu mempedulikan.
Aku kembali pada ruangku. Rangkaian kenangan-kenangan yang enggan untuk terbenam, meski lahunan awan terus meracik prasasti untuk sejarah, namun percikan cinta Zulakha terhadap Yusuf yang menjadi kapas-kapas dilangit. Sehingga meski jarak berhitung bersama waktu aku tetap pada titik puncak pengharapan, saat kabar seolah hilang dihapus angin, tapi aku terlalu menyakini kepercayaan menjagaku. Hingga apalagi yang patut aku pertanyakan jika semua terlalu jelas, saat pewayangan Sinta merindui Rama aku tahu tuhan yang mendalangi. Sudahlah kali ini biar aku bergegas bertemu tuhan semoga jelmaannya bisa aku lihat padamu, jika benar maka Ia memang bermurah hati padaku. Muhasabah Cintaku.
Untukmu yang tersenyum kala hujan datang saat senja
Untukmu yang selalu menunggu digaris pantai
Untukmu pemberontakku, …. Doamu akan selalu menjadi cinta
Neno Karlina Paputungan
Post Views: 76