Oleh : M. Firasat Mokodompit, SE (Politisi).
Sudah seminggu ini Safari Politik Caleg, mopoukat in bahasa keluarga bo mopotaauw kon lipuannya bahwa Kiadik Monimu, Kiutat Monimu, Toyobayat, Toyotakin monimu na’a Mo Ikhtiar Mopiya, mencalonkan diri dan dicalonkan Partai Berkarya untuk Berkontestasi dalam Pileg menuju DPRD Provinsi Sulut 2019.
Passi, Bintau, Kota Kotamobagu, Bongkudai, Modayag, Atoga, Togid, Tutuyan, Kayumoyondi, Tombolikat, Buyat hingga ke perkebunan TOPUT, banyak hal yang menjadi Inspirasi dan menjadi aspirasi. Yang jadi pertanyaan, dimana posisi Politik suku Mongondow dalam percaturan kontestasi Pileg, Pilpres daerah, Provinsi dan Pusat saat ini?
Agak menggelitik, namun pertanyaan ini harus dijawab, apakah ini dimaksud Primordialisme atau kesukuan sempit, atau bisa dikatakan inilah salah satu senjata manakala terjadi kebekuan politik, dimana suku mongondow tergusur dalam kancah politik lokal maupun Provinsi dan Pusat.
Jika kita gunakan ‘kacamata kuda’ maka beragam pendapat, dari sempit, wawasan tumpul, hingga kerdilnya pemikiran. Namun jika kita gunakan Kacamata Rasional, maka akan terbuka pikiran kita bahwa saatnya suku mongondow dan berbagai tafsir yang tentu jauhkan dari sifat SARA.
Tokoh sekaliber Nelson Mandela, Aung Tse dan George Washington. Toh masih memperjuangkan peimordialisme dan bahkan America yang sudah Merdeka 250 tahun, masih juga rasis perbedaan kulit. Nah, kita di Indonesia miliki toleransi yang kadang kebablasan, seperti kita di Mongondow, dimana ruang Politik terasa sempit karena perilaku Paternalis dan cuek terhadap lingkungan sehingga kedepankan Pragmatisme.
Sapa kase doi (Uang), dia yang dipilih walaupun penjahat sekalipun, nauzubillaminzalik, sehingga jangan salahkan kita anak mongondow jika kemudian suku mongondow yang cuek tidak berpikir penting kase doi aman. Dan jangan menyesal jika kemudian kita termarginal dalam pilitisasi daerah.
Sang Pemangku adat tertinggipun YSM (Bupati Bolmong) harus mengimbau, dalam Kontestasi Pileg 2019 Pilihlah Putra Putri asli daerah, artinya himbauan ini bermakna keprihatinan sosok bupati terhadap kondisi saat ini
Dari tujuh titik mendengarkan Aspirasi adanya perubahan pola pikir suku mongondow, jika mau ‘punah’ maka Biarkan kondisi saat ini berlangsung, Namun jika mau berdaulat secara politik maka mari kita pilih Caleg ki adik naton yang miliki kapasitas dan kopetensi mumpuni menjadi wakil kita di DPRD Kab kota, Provinsi dan Pusat.
Saran Konstruktif :
Demokrasi tidak boleh dipaksakan, dia harus lahir dari kesadaran kolektif, bahwa Kedaulatan itu Hak Azasi Pemilih, kita cuma bisa mengimbau, bahwa ‘Mongondow Is Mongondows,’ ujar Kiyai Arifin Assegaf Almarhum, dalam tulisannya di buku Bolaang Mongondow, Etnis, Budaya dan Perubahan, Firasat & Reiner 1996. Bahwa Perubahan dan Peradaban orang Mongodow harus dilakukan “ORANG MONGONDOW SENDIRI ”
Marwah kemongondowan inilah menjadikan Kita Maju, kita beradab, kita miliki negeri sendiri, dan Kita tolu yang Mengawal kemajuan dan menikmati pembangunan itu sendiri, tanpa harus meninggalkan OADATAN, TOLERANSI, KEBERAGAMAN, DAN TALENTA SUKU MONGONDOW.
Cases Naton Tolu Positioning Orang Mongondow di DPRD Kabupaten Kota, Sulut, di Bank Sulut Gorontalo hingga timbulkan Polemik pemindahan RKUD, Keberadaan Conch, dan banyak persoalan lainnya yang bisa di katakan KITA SUKU MINGONDOW TAK MILIKI NILAI TAWAR ?
Apakah memang orang Mongondow/ suku mongondow tak Miliki Kapasitas dan Kopetensi !!! Apakah kita semua akan.membiarkan keberadaan kita hingga PUNAH DARI PERAN POLITIK, dan atau KITA TOLU MOYAPUDON KON DODOP bertahun tahun alami kondisi ini.
Dikembalikan, pada kita tolu mogutat motoluadi, yang pilih torang, seharusnya kedaulatan itu milik torang, dak kitapa jawabannya, Semoga…🙏🙏🙏