Antara Aku, Kau, dan Hantu Medsos

0
604
Antara Aku, Kau, dan Hantu Medsos
Neno Karlina Paputungan
Author : Neno Karlina Paputungan.
ENTAH harus aku mulai dari mana dulu, sorot sinis tatapanmu terlanjur menghujam kedalaman hatiku, melahirkan apa itu rasa lucu, meski harus aku akui, hal itu cukup membuatku tak nyaman. Bila aku jujur tentang ketidaknyamananku kini, maka kuharap kau bisa sedikit turun dari altar kediktatoran dan melihatku dari sudut pandang pribadi yang merdeka. Sedikit kejujuran bahwa diamku hadirkan rindu diantara sejuta marahmu. Hehehe anggaplah aku yang terlalu percaya diri atas itu.
Kau bicara kausalitas, sebab akibat. Sayang, jangan bicara seolah-olah mencari pembenaran. Sungguh kau sedang sungguh-sungguh tak menguasai diri, berhentilah mengeja diriku, mengumpulkan tumpukan abjad dan meraciknya dalam kalimat-kalimat yang siap kau lemparkan padaku seolah bom rakitan yang akan membelah seluruh bagian semangat dan membunuh karakterku. Maaf, kau terlalu percaya diri atas itu. Tapi sudahlah, jangan dulu sekarang, jangan pertanyakan apa-apa dulu sekarang, aku masih sangat sedih melihat pembenaran bagaimana ketika si fullan menjadi boneka kediktatoran.
Saat si fullan dengan semangat berharap, menempa dirinya dalam kediktatoran hingga peluh tak terhitung dengan susunan sederetan kalimat-kalimat yang kau himpun itu, namun dia tetap setia, tetap loyal, dan tetap percaya jika dengan menempa dirinya sekeras mungkin, dia tidak akan berada digerbang sekolah lagi namun kesabaran akan membawa harapnya terbang menjulang, ketika matanya terbuka, kesuksesan yang kau katakan telah dia peluk. Namun dia terhentak, bagaimana tidak? Ditengah semangat dan perjuangan akan kerja keras, dia tak terlihat, bukan saja tetesan keringat, tapi juga hal dasar yang ada dalam pribadi setiap manusia, dia dibuang tanpa perhitungan, dibunuh dari komitnent serta konsistensi tanpa pernah ada apa itu duduk dan bicara secara dewasa dan seharusnya, tanpa perlu menjadikan dia pendakwah didunia maya.
Saat itu lantunan lagu milik Pinkan Mambo, Kekasih Yang Tak Dianggap membuatnya tertawa terbahak-bahak mirip orang gila. Kenyataan kegilaan yang tak akan mampu diprediksi oleh orang sepertimu. Bibirnya menawarkan tawa namun hatinya begitu sedih meratapi ketidakadilan. Lalu dia masih tetap elegant dengan diamnya, membiarkan terbawa irama sampai tak ada kejelasan yang diberikan untuk benar-benar menjelaskan dirinya, hingga dia mulai menghitung mundur hari. Tepat dihari ketujuh dia telah yakin bahwa dia telah diaanggap mati. Tak ada upacara khusus atau sekedar basa-basi. Layaknya hantu yang tak berjasad, akhirnya pengebirian memaksa dia pergi tanpa permisi. Meski kebenaran atas pemerkosaan semangat dan harapannya tak pernah terkuak hingga akhirnya dia dianggap hantu, hantu nurani, hantu fiksi, dan hantu-hantu lainnya mungkin juga hantu pendakwa yang suka ngoceh didunia maya, kalau tak salah dia lebih familiar dari pocong, hantu medsos sapaannya.
Kau benar, mungkin dia kini menjadi hantu yang super duper gentayangan mengalahkan hantu-hantu yang difiksikan para penulis skenario. Tapi ingat, dia menjadi hantu karena kau yang telah menghisap darah semangat dan konsistensinya sebagai manusia, sehingga kau sungguh tak berhak mendiktenya kehilangan rasa malu apalagi kemaluannya. Dari sini aku belajar bagaimana kediktatoran telah menjadikan seseorang kehilangan kepekaan, itu sama seperti halnya dirimu, aku menduga, hanya menduga saja, mungkin otakmu yang besar itu, tak cukup meredam kemaluanmu yang kecil, jadi sekali lagi jangan mendikte seolah kau benar-benar mahami apa itu hantu dan apa itu kemaluan.
Ya aku mungkin bisa lapang dada, namanya juga diktaktor tetap saja diktaktor, kita tidak bisa serta merta memaksa dia menjadi sesuatu yang bernama Arif dan bijaksana apalagi menggantinya menjadi Dermawan. Sedikit mengutip kata rekanku, seorang jurnalis dari bolmut.
“Kesenjangan itu telah kau ciptakan,”
Berhentilah menyalahkan hantu yang kau ciptakan sendiri, tak pembenaran, kucup kembalilah kedalam hati nurani, kau boleh saja diantara pusaran kediktatoran tapi kau masih berhak tidak mendiktaktorkan dirimu. Ada banyak hal yang jauh berharga dari materi sayang, jangan melupakannya.
Sekali lagi maaf, aku tak pamit. Bukan karena tak mau, tapi karena terlanjur dipencundangi.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.