BOLMONG,DETOTABUAN.COM – Sikap tegas Bupati Bolaang Mongondow Dra. Hj Yasti Soepredjo Mokoagow (YSM) menutup aktivitas PT. Conch North Sulawesi Semen (CNSC) akibat ketidakpatuhan atas prosedur perijinan di Kabupaten Bolaang Mongondow menuai polemic.
Sedikitnya ada dua sikap yang terlihat pasca insiden tersebut yang pertama adalah dukungan terhadap terobosan yang dilakukan Bupati sementara yang kedua adalah kritik dan cibiran dari sekelompok orang.
“Sikap yang pertama Ini umumnya adalah warna sikap dari mayoritas pemilih di Pilkada yang telah jenuh melihat ketertinggalan pembangunan di Bolaang Mongondow. Sementara sikap yang kedua saya menduga berasal dari kelompok yang tak juga move on dari situasi status quo masa lalu,” kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PB HMI, Ilham Akbar Mustafa.
Ilham yang saat ini tercatat sebagai Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI) menjelaskan, Sidak yang dilakukan Bupati Bolaang Mongondow ke areal operasi PT. CONCH, sebetulnya adalah sesuatu yang lumrah.
“Jikalau kemudian ada ekses yang terjadi di lapangan, maka hal tersebut sebetulnya harus dipahami sebagai bentuk reaksi akibat pembiaran yang dilakukan selama ini, yang boleh jadi dilakukan oleh Gubernur dan Bupati sebelumnya, bahwa pada faktanya ada prosedur yang memang diabaikan. Termasuk perizinan dan komitmen pengelolaan sumber daya alam lingkungan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dari pihak perusahaan/pabrik semen,” kata Ilham.
Seharusnya kata dia, tindakan yang dilakukan Bupati tersebut tidak boleh ditafsirkan sebagai bentuk penolakan terhadap investasi. Karena, penegakan prosedur perizinan dan penolakan terhadap investasi itu dua hal yang berbeda. “Yang dilakukan ibu Bupati adalah meluruskan prosedur, sekaligus menegakkan martabat pemerintah daerah agar setara dan tidak berada di bawah kaki investor asing. Pemerintah Daerah bukan jongos yang bisa dipermainkan oleh investor untuk seenaknya saja,” ujarnya.
Yang fatal dan keliru menurut Ilham, ketika sikap Bupati itu justru ditafsir sebagai bentuk penolakan terhadap investasi, memang kata dia, investasi harus didukung seluas-luasnya, tetapi prosedurnya harus sesuai dengan aturan. Karena aturan dibuat untuk mengatur. Termasuk mengantisipasi pengingkaran yang dilakukan perusahaan dari tanggung jawab terhadap degradasi dan deplesi fungsi lingkungan di masa depan.
“Nah jika polemik tersebut sampai hari ini tak kunjung juga mereda, maka bolehlah kita melihat dengan perspektif lain, bahwa jangan-jangan isu tersebut memang sengaja dipolitisir,” tukasnya.
DILIHAT DARI ASPEK PERIZINAN LINGKUNGAN
Ilham menjelaskan, Berdasarkan UU. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terdapat keharusan yuridis yang mengatur bahwa pendirinan dan izin operasi perusahaan semen harus mengacu pada dokumen KLHS (Kajian Lingkungan Hidup strategis) yang menjadi turunan dari peta zonasi dan ekoregion yang tertuang di dalam RTRW.
Jika hal tersebut memenuhi dokumen KLHS dan sesuai dengan RTRW Provinsi Sulawesi Utara dan RTRW Kabupaten Bolaang mongondow, bahwa wilayah tersebut tidak memiliki kerentanan ekologis apabila areal Karstnya diekploitasi untuk pabrik semen, maka barulah perusahaan tersebut bisa mengurus ijin operasi dan seterusnya.
Begitu kira-kira logikanya. Bukan sekadar iming-iming investasi yang menjadi rujukan, tapi Dokumen KLHS dan prosedur perizinannya. Di sini kekeliruan LSM-LSM yang kritiknya terhadap kebijakan ibu bupati, seperti tidak mendudukan persoalan pada tempatnya.
Yang kedua, berkaca dari kasus PT. Semen Indonesia di Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Yang dianulir izinnya oleh MA karena tidak memiliki dokumen KLHS yg jelas, dan kemudian diperkuat oleh rekomendasi Tim KLHS yg dibentuk Kantor Staf Presiden, menemukan fakta bahwa kawasan karst yang menyimpan sumber air terhadap ratusan hektar sawah, dilarang dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Karena dapat merusak kelangsungan dan kelestarian ekologis di masa depan. (#)
