DETOTABUAN,KOTAMOBAGU-Semua elemen masyarakat di Bolaang Mongondow Raya (BMR) ramai-ramai mengecam pagelaran teater Pingkan Matindas: Cahaya Bidadari Minahasa yang dipentaskan oleh oleh Institut Seni Budaya Independen Manado (ISBIMA) di gedung eks-kantor DPRD Sulawesi Utara, Sabtu (31/10/2020).
Lantarannya, pentas teaterikal yang disutradai oleh Achi Breyvi Talanggai dan ditayangkan secara live streaming di Kawanua TV Manado tersebut, dinilai melukai masyarakat BMR karena terkesan ada unsur melecehkan etnis di BMR yakni Mongondow.
Pagelaran itu menampilkan sosok yang digambarkan sebagai leluhur Mongondow yakni Raja Loloda Mokoagow. Di Mongondow, Raja Loloda Mokoagow sangat ‘disakralkan’. Sosok lain yang digambarkan dalam pagelaran itu adalah Pingkan dan Matindas.
Yang paling tidak diterima masyarakat BMR, Raja Loloda Mokoagow digambarkan sebagai sosok yang ‘maniak seks’. Selain itu Raja Loloda Mokoagow digambarkan tewas di tangan prajuritnya sendiri atas perintah Pingkan dan potongan kepalanya dipertontonkan.
Ketua Umum Laskar Bogani Indonesia (LBI) Syamsuri Manoppo menyatakan, pagelaran teater itu sudah mencoreng kehormatan dan harga diri orang Bolaang Mongondow.
“Ini rasis dan tidak boleh dibiarkan. Kami akan melaporkan masalah ini secepatnya ke pihak penegak hukum,” kata Manoppo.
Mantan Wakil Walikota Kotamobagu Jainuddin Damopolii juga angkat suara. Pagelaran itu dinilainya sudah mengandung unsur perlakukan tidak baik pada satu kelompok masyarakat tertentu.
“Dari sisi seni mungkin menurut mereka itu wajar. Akan tetap bila sudah bersinggungan dengan adat dan budaya, lalu kemudian dibuat seperti melecehkan kebudayaan yang lainnya, pasti dampaknya sangat besar. Dan pasti akan ke ranah hukum,” ujar Damopolii.
Budayawan BMR Sumitro Tegela, dalam akun Facebook miliknya menilai, dalam lakon sebagai warga adat BMR sangat tersinggung. Sebab leluhur Raja/Datu Loloda Mokoagow dalam pentas itu digambarkan tak manusiasi yang dipenggal ditenteng kepalanya, hanya untuk dijadikan lakon dan bualan palsu demi mencapai pujian dan tepuk tangan semata.
“Datu Loloda Mokoagow/Datu Binangkal, Datu Binangkang mendapat gelar kehormatan yang sangat disegani dalam sejarah adat budaya Bolaang Mongondow tetapi menjadi tak manusiawi dalam lakon pentas teatrikal Cahaya Bidadari Minahasa. Harusya novel fiksi yang sangat rasis produk Sekolah Hofdenschool Belanda ini tak perlu di tampilkan lagi, karena sangat merugikan masyarakat adat dan sejarah BMR. Anehnya juga difasilitasi oleh Kemendikbud Provinsi Sulut yang sudah tentu diback-up dan difasilitasi dengan uang negara yang juga ada hasil pajak dari masyarakat adat BMR di situ,” kata Tegela.
“Dimana arti Torang Samua Basudara? Sejarah palsu harus diluruskan bukan dijadikan bahan teater untuk pujian dan tepuk tangan. Generasi Sulawesi Utara harusnya hebat bukan menjadi generasi rasis,” tandasnya.
Tokoh pemuda BMR, Patra Mokoginta juga menyebut drama teatrikal tersebut sebagai panggung rasis.
“Ini penghinaan etnis berbalut seni. Kebebasan berekspresi tidak boleh mencederai dan menghinakan identitas suatu suku,” kata Mokoginta.
Lanjutnya, semua yang terlibat dalam pentas tersebut harus bertanggungjawab.
“Panitia, sutradara dan sponsor pentas rasis ini harus bertanggung jawab secara hukum. Selain itu saya juga meminta pemerintah provinsi agar tidak memfasilitasi segala hal yang berbau rasis di tanah Sulawesi Utara,” pungkasnya.
Sementara itu, melalui akun Facebook miliknya, sutradara pagelaran ini Achi Breyvi Talanggai mengatakan, meminta maaf jika ada yang merasa terlukai dengan adanya pentas seni yang ditampilkan tersebut.
“Jika sekiranya tujuan berkesenian untuk menghidupkan gairah positif anak muda dalam berkarya di tengah badai C19 telah dianggap “melukai hati saudara saya” yang barangkali tidak melihat dekat maksud pementasan yang kami tampilkan, lalu mulai menimbang dan mengklaim peristiwa kesenian yang kami jalankan sebagai sebuah tindakan “Rasis” saya rasa saudara saudara melihat dari perspektif berbeda. Saya hormati pandangan tersebut, dengan kerendahan hati, bolehlah kita bersua, berjumpa dan berdiskusi soal pementasan kami. Terlepas dari riak yang muncul, sebagai sutradara anak kemarin sore dan kelas “teri” ini, apalah daya saya selain meMINTA MAAF bila ada yang merasa terlukai, sabagai saudara, tidak terfikirkan sedikitpun bagi saya ini akan mendapat respon demikian. Tak ada niat sekecilpun melukai saudara saudara, selain murni membuat karya. Ketimbang bias di media sosial, saudara saudaraku bolehlah kita duduk minum kopi membahas ini sebagai saudara. Karena yang kami tampilkan adalah sebuah karya alih wahana, tak ubahnya karya tersebut bila difilmkan, dll. Jadi ketimbang diburu dan diarahkan ke rana politik sara, mumpung ini tahun politik, saya nanti mengundang saudara untuk duduk bersama. Maafkan bila ada yg keberatan yah. Salam,” tulisnya memberi penjelasan, sebelum postingannya dihapus. (**)